
Gelombang dalam dunia kopih bukan hanya soal tren minum, tapi mencerminkan perubahan gaya hidup, budaya, bahkan nilai ekonomi. Dari first wave yang serba instan, second wave yang memperkenalkan pengalaman, third wave yang menekankan kualitas dan asal-usul, hingga sekarang masuk ke fourth wave yang menggabungkan teknologi, keberlanjutan, dan keadilan rantai pasok. Tapi di tengah derasnya third dan fourth wave, pernahkah kamu bertanya: seperti apa sebenarnya masa kopi first wave itu?
Apa Itu First Wave Kopih dan Kapan Terjadinya?
First wave kopih adalah era awal industrialisasi dan komersialisasi kopih secara besar-besaran—di mana fokus utama adalah aksesibilitas, bukan kualitas. Gelombang ini mulai sejak akhir abad ke-19 hingga awal 1970-an, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Saat itu, kopih menjadi produk rumah tangga yang tersedia di mana-mana, murah, dan praktis. Era ini dianggap “berakhir” secara bertahap saat munculnya Starbucks, Peet’s Coffee, dan tren kedai kopih berkonsep pada era second wave.
Gaya Konsumsi Kopih di Masa First Wave
Ciri khas konsumsi kopih first wave adalah kesederhanaan dan kepraktisan.
Kita ngopih bukan karena kenikmatan rasa atau asal biji, tapi karena fungsinya: untuk bangun pagi, tetap terjaga, atau sekadar rutinitas harian. Kopih instan, kalengan, atau bubuk massal seperti Folgers dan Maxwell House menjadi primadona. Tidak ada konsep single origin, cupping, atau flavor notes—kopih ya hitam, pahit, dan disajikan cepat.
Baca juga: Mengenal empat gelombang kopih: dari First sampai Fourth Wave
Siapa yang Minum Kopih Saat Itu?
Pola industri di masa ini sangat terpusat di sekitar pemain-pemain besar. Kopih ibarat produk komoditas biasa—misal sangrai gelap cenderung hangus, untuk menyamarkan kualitas biji yang tidak seragam, dan terjual lewat iklan TV atau radio. Konsumen saat itu adalah keluarga kelas menengah, pekerja pabrik, atau pegawai kantor yang menjadikan kopih bagian dari rutinitas praktis—bukan kenikmatan spesial.
Warisan ke Second Wave: Awal dari Kopih Sebagai “Pengalaman”
Meskipun dianggap “sederhana”, kopi first wave meletakkan fondasi penting bagi munculnya second wave: yaitu kesadaran bahwa kopih bisa lebih dari sekadar minuman. Saat masyarakat mulai jenuh dengan rasa kopih yang “itu-itu saja”, muncullah dorongan untuk mengenal rasa, asal biji, dan cara penyajian. Maka hadirlah gerakan specialty coffee, café dengan barista, dan brand seperti Starbucks yang mulai mengenalkan latte, cappuccino, dan kopih culture ala Italia ke publik Barat.

Apakah Masih Ada Pemain First Wave Hari Ini?
Jawabannya: ya, masih banyak. Brand seperti Maxwell House, Folgers, dan Nescafé masih bertahan dan menguasai pasar kopih instan serta rumah tangga di banyak negara. Bahkan di Indonesia, nama-nama seperti Kapal Api dan Torabika terkenal sebagai bagian dari semangat first wave: praktis, massal, dan ekonomis. Meskipun kini mereka bersaing di tengah maraknya third dan fourth wave, model distribusi dan loyalitas pelanggan mereka masih sangat kuat.
Kesimpulan
First wave sering dianggap sebagai masa lampau yang ketinggalan zaman. Tapi kenyataannya, ia adalah pondasi dari seluruh ekosistem kopih hari ini. Dari budaya minum massal hingga rantai distribusi global, semua bermula dari logika first wave. Ia mungkin tidak mengenal cupping score, tapi ia membuat kopih hadir di setiap rumah, dari kota hingga desa.
Kini saat kita berada di tengah revolusi fourth wave kopih—dengan semua kemajuan teknologi, keberlanjutan, dan kesadaran etika—ada satu hal yang masih bisa kita pelajari dari first wave: kopih adalah untuk semua orang. Kopih seharusnya inklusif, mudah diakses, dan tetap punya tempat bagi siapa pun—baik yang menyeduh V60 di café artisan, maupun yang mencampur sachet kopih instan di pagi buta.
Dengan semangat ini, industri kopih Indonesia pun bisa tumbuh sehat: menggabungkan nilai tradisional, inovasi modern, dan semangat menyatukan.
**