Home » Blog » Kisah Kopih » Sejarah Kopih di Indonesia: Dari Kolonial sampai Third Wave

Sejarah Kopih di Indonesia: Dari Kolonial sampai Third Wave

Kopi Indonesia terkenal karena varietas unggul, bernilai ekonomi tinggi, dan mendorong tren konsumsi di era third wave modern.

Sejarah kopi di Indonesia dari kolonial sampai Third Wave - Toko Kopih

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil kopih terbaik di dunia. Keberagaman geografis dan iklim tropisnya menciptakan berbagai varietas kopih unggulan yang terkenal hingga mancanegara. Sejarah kopi di Indonesia juga melahirkan beberapa nama besar seperti Toraja Kalosi dari Sulawesi Selatan, Aceh Gayo dari ujung utara Sumatera, Bali Kintamani dengan cita rasa buah sitrus khas, hingga Kopih Luwak yang eksklusif karena proses fermentasinya yang unik. Setiap jenis kopih ini memiliki keunikan cita rasa tersendiri. Secara keseluruhan mencerminkan keragaman budaya dan tanah tempatnya tumbuh.

Awal Mula Kopih Masuk ke Indonesia

Kopih pertama kali masuk ke Indonesia pada awal abad ke-17 melalui tangan kolonial Belanda. Lewat jalan pendudukan, mereka membawa bibit kopih Arabika dari Yaman. Penanaman pertama dilakukan di Batavia (sekarang Jakarta) sebelum menyebar ke daerah lain. Gubernur Jenderal VOC pada saat itu, Cornelis de Houtman, berperan penting dalam menginisiasi ekspansi tanaman kopih sebagai komoditas ekonomi yang menjanjikan. Dari sinilah sejarah kopi di Indonesia bermula. Titik sejarah yang menjadikan negara ini kelak sebagai salah satu produsen kopih terbesar di dunia.

Foto-Pabrik-kopi-Zaman-Kolonial-C.J.Koengbrothe-Medan-deli-Gravure-J-B-Obernetter-Munchen
Foto pusat penyortiran di pabrik kopi di sekitar Deli-Medan tahun 1903-1920/C.J.Koengbrothe-Gravure J.B. Obernetter, Munchen

Penyebaran kopih terus berkembang ke berbagai pulau besar di Indonesia. Di Sumatera, kopih berkembang pesat di Aceh, Mandailing, dan Lampung dengan karakter kuat dan aroma rempah. Di Jawa, kopih memiliki rasa seimbang dan earthy, khususnya dari wilayah Temanggung dan Ijen. Sementara di Sulawesi, kopih Toraja dikenal dengan rasa kental dan body yang berat. Di Bali, Kintamani menghasilkan kopih dengan keasaman cerah dan aroma buah-buahan tropis. Setiap daerah memberikan cita rasa khas yang berbeda, dipengaruhi oleh ketinggian, tanah, dan proses pasca-panen.

Sejarah Kopi di Indonesia & Nilai Ekonomi Kopih

Dari sisi ekonomi, kopih memberikan penghidupan bagi jutaan petani di Indonesia. Namun, tantangan masih ada, terutama dalam hal stabilitas harga dan akses ke pasar global. Meskipun begitu, sektor kopih tetap menyumbang signifikan terhadap ekspor negara dan devisa. Pada 2023, Indonesia mengekspor lebih dari 400 ribu ton kopih ke lebih dari 50 negara, menjadikannya produsen kopih terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Kontribusi kopih terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian juga terus meningkat, mencerminkan pentingnya komoditas ini bagi perekonomian nasional.

Berikut grafik perbandingan negara pengekspor kopih terbesar di dunia tahun 2023:

Negara        | Volume Ekspor (juta ton)
--------------|--------------------------
Brasil | 2,7
Vietnam | 1,6
Kolombia | 0,8
Indonesia | 0,4
Honduras | 0,3
Ethiopia | 0,25
Sumber: International Coffee Organisation.

Kopi Gelombang Ketiga

Memasuki era kopih gelombang ketiga atau third wave coffee, konsumsi kopih tidak lagi sekadar minuman. Kopi telah melebur dalam pengalaman dan gaya hidup. Tren ini memicu lahirnya banyak startup kopih dan UMKM yang fokus pada kualitas, transparansi sumber, dan cerita di balik setiap biji kopih. Brand seperti Kopi Kenangan, Fore Coffee, dan Titik Temu adalah beberapa contoh suksesnya. Mereka bukan hanya membawa kopih Indonesia ke level premium, tetapi juga membuka lapangan kerja, mendorong inovasi, dan melahirkan pengusaha muda kreatif di sektor minuman.

Tren Kopi third wave di indonesia, kafe kopi dan pengalaman ekonomi

Pangsa pasar terbesar untuk kopih third wave di Indonesia berasal dari kelompok usia 18 hingga 35 tahun, terutama dari kalangan mahasiswa, profesional muda, dan urban middle class. Kelompok ini sangat aktif di media sosial, melek tren, dan memiliki daya beli yang cukup kuat. Mereka bukan hanya mencari rasa kopih yang enak, tetapi juga suasana tempat, nilai estetika, keberlanjutan produk, dan cerita di balik kopih yang mereka nikmati.

Selain itu, gaya hidup baru seperti work from café, produktivitas digital, serta budaya nongkrong dan networking di kedai kopih turut mendorong lonjakan konsumsi kopih di kota-kota besar. Ini menjadikan kafe dan brand kopih sebagai ruang sosial modern yang sangat strategis. Tidak heran jika brand-brand lokal berlomba-lomba memperluas jaringan toko, mengembangkan aplikasi digital, dan berinovasi dengan menu seasonal serta kolaborasi kreatif untuk menjaga loyalitas pelanggan.

Baca juga: Sejarah Kopih Dunia

Mencintai Kopih Indonesia

Melihat potensi dan sejarah panjangnya, sudah seharusnya kita mencintai kopih lokal Indonesia. Tak hanya dengan menikmatinya, tetapi juga dengan mendukung petani, pelaku UMKM, dan wirausaha kopih yang terus tumbuh. Ekonomi kopih Indonesia belum mencapai puncaknya—masih banyak peluang untuk dikembangkan melalui teknologi, pendidikan, dan kolaborasi lintas sektor.

Sebagai kesimpulan: saatnya kita semua terlibat dalam ekosistem kopih yang inklusif, berkelanjutan, dan membanggakan.

——

Baca juga:

4 1 Pilih
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
5 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar

[…] mencatat, tanaman kopih pertama kali dibawa masuk ke Indonesia oleh kolonial Belanda pada awal abad ke-18. Mereka memulai budidaya di Batavia (sekarang Jakarta), lalu menyebar ke […]

[…] tanaman kopih dari Afrika dan Arab ke berbagai koloni di Asia dan Amerika Latin. Belanda membawa kopih ke Indonesia, khususnya ke Batavia (kini Jakarta), dan menjadikannya komoditas unggulan di abad ke-17 dan ke-18. […]

[…] Baca juga: Sejarah Masuknya Kopi ke Indonesia […]

[…] Baca juga: Sejarah Kopih di Indonesia: dari Kolonial hingga Third Wave […]

[…] Baca juga: Sejarah Kopi di Indonesia: Dari Kolonial hingga Third Wave […]

5
0
Butuh masukanmu, silakan komentar.x
()
x