
Tahukah kamu? Warung kopi (atau kopih) pertama yang tercatat dalam sejarah Nusantara berdiri pada tahun 1878 dengan nama Warung Tinggi Tek Soen Ho. Berlokasi di kawasan Moolenvliet Oost, yang kini bernama Jalan Hayam Wuruk, Batavia (Jakarta), warung ini wujud usaha seorang perantau asal Tiongkok, Liauw Tek Soen. Karakternya memadukan budaya minum kopih dengan semangat dagang khas Tionghoa. Dalam suasana kota pelabuhan yang ramai oleh aktivitas perdagangan kolonial, warung kopih ini menjadi pelopor budaya ngopih yang hingga kini terus tumbuh di seluruh penjuru negeri.
Pada masa itu, Hindia Belanda berada dalam babak awal ekonomi liberal setelah sistem tanam paksa perlahan-lahan terhenti. Pemerintah kolonial membuka ruang lebih luas bagi para pedagang swasta untuk berpartisipasi dalam perdagangan komoditas, termasuk kopih yang telah menjadi salah satu ekspor utama Jawa sejak awal abad ke-18. Liauw Tek Soen termasuk bagian dari gelombang imigran Tionghoa yang menetap dan mengembangkan usaha di Batavia. Kawasan Moolenvliet menjadi pusat aktivitas ekonomi, dan kehadiran warung kopih bukan hanya menjadi sarana bisnis, tetapi juga ruang interaksi lintas etnik dan kelas sosial.
Baca juga: Sejarah Masuknya Kopi ke Indonesia

Warung Kopi Pertama Bergaya Kolonial-Tionghoa
Warung Tinggi Tek Sun Ho berdiri di atas lahan sekitar 200 meter persegi, dengan bangunan berbentuk rumah toko dua lantai bergaya kolonial-Tionghoa. Bagian bawah berfungsi sebagai tempat menyeduh dan melayani pengunjung, sementara lantai atas sebagai tempat sangrai dan penyimpanan biji kopih. Meja dan kursi kayu tertata rapi di depan jendela besar berteralis. Ini memungkinkan pengunjung menikmati hiruk pikuk kota Batavia, menghirup udara sambil menyeruput kopih. Interiornya berhias ornamen khas Tionghoa seperti lentera merah dan kaligrafi, berpadu dengan poster dagang berbahasa Belanda dan Jawa.
Biji kopih yang digunakan warung kopi pertama ini sebagian besar berasal dari daerah Priangan dan lereng Gunung Salak, Jawa Barat. Pasokannya datang dari pedagang lokal dan tengkulak yang telah mengenal sistem dagang berbasis kepercayaan. Kopih disangrai langsung di tempat dengan teknik khas warisan dari generasi ke generasi. Konsumen awalnya adalah para pedagang, pegawai administrasi Belanda, serta warga lokal dan Tionghoa peranakan. Di masa itu, warung kopih menjadi tempat bertukar kabar, bernegosiasi bisnis, dan bahkan menyusun perlawanan senyap terhadap ketidakadilan kolonial.
Persaingan Usaha Warung Kopi
Memasuki abad ke-20, budaya warung kopih kian meluas. Muncul berbagai pesaing dengan karakter dan sejarahnya sendiri, seperti Bakoel Kopih yang berdiri pada tahun 1878 juga, namun baru popular pada abad ke-20, Warung Kopih Ake di Belitung sejak 1920-an, Kedai Kopih Tak Kie di Glodok yang eksis sejak 1927, dan Warung Kopih Purnama di Bandung sejak 1930. Tiap-tiapnya membawa identitas lokal yang kuat. Namun, mereka semua turut mempertahankan esensi warung kopih sebagai ruang sosial rakyat urban—tempat rasa, cerita, dan sejarah bercampur dalam satu cangkir hangat.


Ketika masuk ke era toko modern dan ritel kopih global pada akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, warung-warung kopih tradisional menghadapi tantangan berat. Munculnya jaringan kedai kopih internasional mengubah selera dan ekspektasi konsumen. Namun, sejumlah tokoh seperti Bondan Winarno, para penggiat komunitas sejarah, dan media sosial berperan penting dalam membangkitkan kembali minat publik terhadap warung kopih legendaris. Warung-warung ini mulai diperkenalkan sebagai bagian dari warisan budaya kuliner yang tak ternilai, membuka jalan untuk transformasi yang tetap menghargai akar tradisional.
Warung Tinggi Kini
Saat ini, Warung Tinggi Tek Sun Ho masih berdiri megah di Jalan Hayam Wuruk No. 127, Jakarta Barat, dalam bentuk Warung Tinggi. Produknya tetap mempertahankan warisan resep dan biji kopih pilihan sejak abad ke-19. Bangunannya telah terbarui, namun semangatnya tetap sama—menjaga rasa, merawat sejarah. Pengunjung dapat datang langsung ke toko atau membeli produk kopih-nya secara daring. Di dalam toko, kamu masih bisa mencium aroma kopih sangrai dan melihat koleksi alat-alat seduh zaman dulu. Yang turut menjadi saksi bisu panjangnya perjalanan usaha ini.
Mencintai warung kopih seperti Warung Tinggi Tek Sun Ho berarti ikut menjaga akar budaya kita sendiri. Di tengah gempuran modernitas, usaha lokal seperti ini layak kita dukung—dengan menjadi pelanggan setia, membagikan kisah mereka ke lebih banyak orang, dan tentu saja, memilih produk-produk lokal sebagai bentuk nyata apresiasi. Karena dari warung kopih sederhana inilah, sejarah, rasa, dan identitas Indonesia diseduh dalam kehangatan yang tak pernah lekang oleh waktu.
**
Baca juga:
[…] Baca juga: Warung Kopih Pertama di Indonesia […]