
Dalam dua dekade terakhir, lanskap industri ngopih di Indonesia telah mengalami transformasi besar. Brand-brand kopih internasional terkemuka seperti Starbucks, The Coffee Bean & Tea Leaf, Dunkin’ Donuts, dan Tim Hortons kini tersebar luas di pusat perbelanjaan, kawasan perkantoran, hingga bandara. Mereka hadir membawa gaya hidup baru dalam menikmati kopih—dari sekadar minuman pagi menjadi bagian dari identitas urban dan gaya hidup. Tapi, brand kopi luar negeri manakah yang pertama kali beroperasi di Indonesia?
Jawabannya adalah Starbucks, brand kopih asal Seattle, Amerika Serikat, yang pertama kali membuka gerainya di Indonesia pada tahun 1998 (sebagian sumber menyebut baru beroperasi pada 2002).
Sejarah Starbucks di Indonesia
Sejarah Starbucks di Indonesia berawal dari ibu kota. Lokasi gerai pertamanya terletak di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, kawasan premium yang menjadi simbol gaya hidup kelas menengah atas di ibu kota. Starbucks Indonesia beroperasi di bawah bendera PT. Mitra Adiperkasa Tbk (MAP Group), melalui anak perusahaannya PT. Sari Coffee Indonesia, yang memegang lisensi resmi dari Starbucks Corporation. Konsumen awal Starbucks di Indonesia terdiri dari kalangan ekspatriat, profesional muda, dan sosialita perkotaan yang mendambakan pengalaman minum kopih a la global dengan kenyamanan ruang yang berpendingin dan akses masyarakat eksklusif.

Seiring waktu, perkembangan Starbucks di Indonesia mencerminkan dinamika ekonomi nasional yang mulai terbuka terhadap investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Awal 2000-an adalah masa pascareformasi politik, di mana Indonesia berupaya membangun kembali citra stabilitas ekonomi. Brand-brand atau jenama kopih global seperti Starbucks memanfaatkan kebijakan pro-pasar yang memberi ruang ekspansi lewat skema kemitraan lokal. Namun, mereka tak luput dari tantangan. Mulai dari krisis ekonomi global 2008, fluktuasi nilai tukar, hingga meningkatnya biaya operasional di kota-kota besar, semua memberi tekanan pada strategi ekspansi dan harga jual.
Menginspirasi Jenama-jenama Lain
Meski begitu, jaringan Starbucks tetap tumbuh stabil dan bahkan menginspirasi masuknya brand-brand kopih internasional lain seperti Doutor Coffee (Jepang), Gloria Jean’s Coffees (Australia), dan Luckin Coffee (China). Persaingan menjadi lebih ketat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Bali. Di tengah kondisi itu, beberapa brand kopih asing juga mengalami dinamika—ada yang bertahan dan terus ekspansi, ada pula yang akhirnya hengkang karena tak mampu bersaing secara lokal. Pengaruh geopolitik dan perubahan regulasi FDI turut mewarnai perjalanan mereka, termasuk soal pajak, kemitraan lokal, dan perlindungan usaha kecil.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, penyebaran brand kopih internasional semakin meluas ke kota-kota tier dua dan tiga seperti Medan, Makassar, Yogyakarta, hingga Denpasar. Mereka tidak hanya menyasar pusat kota, tetapi juga area pendidikan dan wisata. Sebagian besar brand tersebut tetap dipegang oleh pemilik lisensi lokal, namun dengan komposisi saham yang sangat dipengaruhi oleh perusahaan induk di luar negeri. Dalam hal kontribusi ekonomi, kehadiran brand-brand kopih global ini membawa arus modal asing masuk ke Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong standar layanan serta pelatihan karyawan yang profesional.

Brand Kopi Luar Negeri vs Dilema Pasar Kopi Lokal
Namun, keberadaan mereka juga membawa dinamika kompleks bagi pelaku usaha kopih lokal. Brand-brand internasional ini cenderung memiliki modal besar, sistem distribusi mapan, dan daya tarik global yang kuat. Hal ini menantang pelaku UMKM serta kedai kopih lokal untuk lebih kreatif dalam mempertahankan loyalitas konsumen. Fenomena third wave coffee di Indonesia pun berkembang sebagai respons, dengan munculnya banyak kedai kopih spesialti yang menonjolkan karakter rasa, asal biji kopih, dan metode seduh yang autentik. Persaingan juga menciptakan variasi harga, perubahan preferensi lokasi (misalnya, menyasar kawasan budaya dan seni), serta tekanan terhadap biaya sewa.
Baca juga: Sejarah Kopih di Indonesia: dari Kolonial hingga Third Wave
Di satu sisi, ekspansi brand kopi luar negeri membawa standar baru dalam pelayanan dan pengalaman konsumen. Di sisi lain, persaingan harga dan lokasi membuat banyak kedai lokal kesulitan untuk bertahan. Beberapa beradaptasi dengan menggandeng petani lokal secara langsung, menekankan nilai keberlanjutan, serta membangun komunitas konsumen yang loyal terhadap identitas rasa Nusantara. Transformasi ini juga berdampak pada meningkatnya edukasi publik tentang kopih, dari asal biji hingga teknik penyeduhan—hal yang dulunya hanya dikenal di kalangan terbatas.
Kini, konsumen muda Indonesia dihadapkan pada pilihan menarik. Di satu menikmati konsistensi rasa dan atmosfer global dari brand kopi luar negeri. Atau di sisi lain menjelajahi kekayaan rasa lokal dari usaha kopih UMKM yang tumbuh dengan cinta dan kreativitas. Pilihan ini bukan sekadar soal rasa, melainkan tentang identitas, keberpihakan ekonomi, dan keberlanjutan budaya. Apa pun pilihannya, semangat ngopih di Indonesia telah berkembang pesat dan berevolusi. Budaya ngopih telah menyatu dengan kehidupan sosial berlatar modernitas, warisan lokal, dan masa depan yang lebih inklusif.
Mari kita rayakan keberagaman ini dengan mendukung produk lokal sekaligus terbuka terhadap inovasi global.
**
Baca juga:
[…] Baca juga: Sejarah Starbucks di Indonesia […]
[…] Baca juga: Sejarah Masuknya Starbucks ke Indonesia […]