Home » Blog » Mengenal Empat Gelombang Konsumen Kopih: dari First Wave hingga Fourth Wave

Mengenal Empat Gelombang Konsumen Kopih: dari First Wave hingga Fourth Wave

Konsumsi kopih tak lagi soal rasa semata, tapi soal cerita, asal usul, keberlanjutan, dan pengalaman.

Masuk era Fourth Wave, konsumen kopih semakin cerdas dan kritis.

Cara orang menikmati kopih di dunia ini telah mengalami empat gelombang besar, tiap-tiapnya mencerminkan perubahan dalam kebutuhan, gaya hidup, dan arah industri kopih itu sendiri. Mulai dari sekadar minuman penghilang kantuk hingga simbol gaya hidup sadar lingkungan, empat gelombang kopi h ini membawa makna baru dalam setiap tegukan. Pasar kopih global, termasuk di Indonesia, berkembang cepat mengikuti arus ini. Konsumsi kopih tak lagi soal rasa semata, tapi soal cerita, asal usul, keberlanjutan, dan pengalaman.

Gelombang-gelombang ini juga saling memengaruhi dan terus berkembang secara paralel. Misalnya, di Indonesia saat ini kita masih bisa menemukan elemen dari first wave di warung pinggir jalan, second wave di kedai franchise besar, hingga third dan fourth wave di coffee shop spesialti. Perpaduan ini mencerminkan betapa luas dan beragamnya lansekap konsumsi kopih hari ini, yang tidak hanya mencerminkan selera, tetapi juga nilai dan pilihan gaya hidup yang makin beragam.

First Wave: Kopih Sebagai Kebutuhan Harian

Gelombang pertama atau first wave muncul sekitar pertengahan abad ke-20, di mana kopih diposisikan sebagai kebutuhan praktis sehari-hari. Fokus utamanya ada pada ketersediaan, kecepatan, dan kemudahan. Kopih instan dan produk massal mulai mendominasi pasar, dengan merek-merek besar memperkenalkan kopih sebagai bagian dari rutinitas pagi.

Di Indonesia, fase pertama dari empat gelombang kopi masa ini identik dengan kopih tubruk di rumah atau sachet kopih instan di warung. Tidak banyak perhatian diberikan pada kualitas biji, asal usul, atau proses penyeduhan—yang penting, murah dan bikin melek. Yang penting kopi rasa pahit, dan efeknya dapet. Kemasannya juga tidak perlu terlalu keren, yang penting mutunya cukup terjaga, seperti yang diiklankan.

logo-kopi-kapal-api-tahun-1950an
Logo kopi Kapal Api di tahun 1960-an

Jejenama seperti Nescafé, Kapal Api, dan Good Day adalah contoh nyata dari gelombang pertama ini. Mereka mengutamakan distribusi luas, harga terjangkau, dan kemasan praktis.

Dalam konteks lokal, budaya minum kopih di pos ronda, warteg, dan pabrik menjadi simbol kuat dari gelombang ini. Kopih berfungsi sebagai bahan bakar sosial dan produktivitas, bukan sebagai pengalaman yang perlu dikhususkan atau dimaknai lebih dalam.

Second Wave: Kopih Mulai Naik Kelas

Masuk ke second wave, kopih menjelma lebih dari sekadar kebutuhan. Pada era ini, muncul kesadaran akan pentingnya rasa, kualitas, dan pengalaman. Jenama seperti Starbucks menjadi simbol perubahan ini, memperkenalkan menu kopih yang lebih beragam, tempat ngopih yang nyaman, dan atmosfer yang mendukung sosialisasi. Budaya ngopih pun naik kelas—bukan lagi sekadar untuk mengusir kantuk, tapi untuk dinikmati perlahan, ditemani obrolan hangat. Di Indonesia, kedai kopih modern mulai bermunculan di kota-kota besar, menjadi tempat nongkrong anak muda dan profesional.

Baca juga: Sejarah Masuknya Starbucks ke Indonesia

Selain Starbucks, brand seperti Excelso dan J.CO (dengan konsep kafe) juga ikut mewujudkan gelombang kedua dari empat gelombang kopi h ini. Di tempat-tempat seperti mal dan kawasan perkantoran, ngopih menjadi simbol gaya hidup urban modern.

Menu seperti caramel macchiato, frappuccino, dan kopih latte menjadi populer, bahkan menciptakan tren minuman berbasis kopih yang lebih “ramah” bagi peminum baru. Identitas ngopih pada masa ini mulai mengarah ke status sosial dan kenyamanan, meski belum sepenuhnya peduli pada asal muasal kopih itu sendiri.

Ilustrasi kopi dan susu spesalti-freepik-PICOFTASTY-hot-chocolate-with-milk-glass-jars (1)
Ilustrasi kopi dan susu spesalti (Freepik/picoftasty)

Third Wave: Kopih Sebagai Seni dan Tanggung Jawab

Gelombang ketiga atau third wave adalah fase yang sedang sangat terasa saat ini. Ini berkisar 2010-an hingga 2020. Di sinilah kopih dianggap sebagai bentuk seni dan warisan budaya.

Konsumen mulai peduli dengan dari mana biji kopih berasal, bagaimana ia proses tanam, panen, dan sangrai-nya. Ada apresiasi tinggi terhadap petani, metode penyeduhan manual, dan rasa otentik tanpa embel-embel tidak perlu. Kopih tidak lagi massal, tapi personal dan punya cerita.

Gelombang ini membawa kesadaran akan pentingnya keberlanjutan: apakah produksi biji kopih berkelanjutan? Apakah petaninya makmur? Apakah ramah lingkungan? Kedai kopih spesialti di berbagai kota Indonesia jadi contoh nyata pentingnya mengedepankan kualitas, transparansi rantai pasok, dan hubungan langsung dengan petani lokal.

Di Indonesia, jejenama seperti Tanamera, Anomali, Kopikalyan, dan (%)Arabica membawa semangat third wave dengan konsep “from farm to cup.” Mereka menawarkan biji asal tunggal (single origin), menyajikan manual brew dengan teknik seperti V60, AeroPress, dan Chemex, serta mengedukasi konsumen tentang profil rasa dan proses sangrai.

Selain itu, konsep keberlanjutan seperti penggunaan sedotan bambu, kemasan ramah lingkungan, dan kerja sama langsung dengan petani di daerah seperti Gayo dan Bajawa menjadi identitas kuat. Kopih menjadi jembatan antara kenikmatan, edukasi, dan tanggung jawab sosial.

empat gelombang kopi - Fore Coffee, satu jenama Fourth Wave (Ardofset.com)
Fore Coffee, satu jenama Fourth Wave (Ardofset.com)

Fourth Wave: Teknologi dan Kopih Masa Depan

Gelombang keempat atau fourth wave baru mulai muncul setelah 2020, dan jadi sinyal kuat arah industri kopih ke depan. Teknologi menjadi faktor penting—dari aplikasi yang melacak asal usul biji kopih, hingga otomatisasi penyeduhan dan eksperimen fermentasi canggih.

Di sisi lain, konsumen makin kritis, ingin tahu lebih banyak, dan cenderung mendukung produk lokal yang punya dampak positif. Kopih sebagai gaya hidup berkelanjutan makin digemari, terutama oleh generasi muda yang aktif di media sosial dan punya kesadaran tinggi soal krisis iklim. Di Indonesia, tren ini mulai terlihat lewat kedai berbasis nirlimbah (zero waste), kolaborasi dengan petani organik, dan kampanye edukasi lewat platform digital.

Gelombang keempat juga dipilih karena kebijakan lingkungannya. (Freepik/JComp)

Contoh menarik datang dari startup seperti Kopi Nako dan Fore Coffee yang memanfaatkan teknologi pemesanan digital, integrasi aplikasi mobile, dan pengiriman berbasis data. Bahkan, tren coffee at home dengan alat-alat canggih seperti mesin espresso rumahan, smart grinder, dan langganan biji kopih langka lewat e-commerce menunjukkan bagaimana teknologi dan personalisasi berjalan beriringan. Kopih makin menjadi bagian dari gaya hidup cerdas yang terkoneksi, terasa personal, dan peduli kelestarian lingkungan.

Infografis: 4 gelombang konsumsi Kopi sejak 1950-an.

Mengapa Perubahan Ini Penting?

Perubahan dari empat gelombang kopi ini tidak terjadi begitu saja. Ia mencerminkan kemajuan teknologi, pergeseran nilai-nilai sosial, serta kebutuhan industri yang semakin dinamis. Gaya hidup urban, mobilitas tinggi, dan tekanan lingkungan global membuat kita memikirkan kembali cara kita menikmati kopih. Bahkan tren di media sosial punya pengaruh besar—posting tentang latte art, cold brew, atau kebun kopih lokal bisa memicu gerakan sadar konsumen dalam skala luas. Inilah bukti bahwa kopih bukan cuma urusan rasa, tapi juga soal identitas, inovasi, dan keberlanjutan.

Baca juga: Sejarah Kopi di Indonesia: Dari Kolonial hingga Third Wave

Kita juga melihat bahwa perubahan ini menjadi indikator penting tentang masa depan industri makanan dan minuman secara keseluruhan. Jika kopih saja bisa berkembang menjadi gerakan sosial, maka produk lain pun bisa mengalami transformasi serupa. Gelombang-gelombang kopih menjadi contoh konkret bagaimana manusia tidak hanya mengonsumsi, tapi juga menciptakan makna baru di balik apa yang mereka pilih untuk dikonsumsi. Dengan kata lain, kopih telah menjadi bahasa budaya yang hidup dan terus berevolusi.

empat gelombang kopi - Konsumen kafe kopi third wave di iNDONESIA semakin beragam.
Cheerful asian young women sitting in cafe drinking coffee with friends and talking together. Attractive asian woman enjoying coffee. Girls having fun at home and laughing.

Saatnya Kita Ikut Berperan

Menyadari adanya empat gelombang kopi (atau kopih) ini, kita sebagai penikmat dan pelaku industri kopih perlu ikut ambil bagian. Sebagai konsumen, kita bisa memilih produk yang adil dan ramah lingkungan, mendukung petani lokal, serta mengurangi sampah saat menikmati kopih. Sebagai produsen, penting untuk terus berinovasi tanpa mengorbankan alam.

Budaya ngopih Indonesia yang kaya bisa kita jaga dan angkat nilainya, bukan hanya untuk pasar lokal tapi juga dunia. Dengan begitu, ngopih jadi lebih dari sekadar gaya hidup—tapi juga aksi nyata menjaga bumi.

Bayangkan jika setiap secangkir kopih yang kita nikmati berasal dari proses yang menghargai alam, petani, dan lingkungan sekitar—kita bukan hanya minum kopih, kita juga memberi harapan. Mulai dari menggunakan cangkir daur ulang, memilih kedai yang rantai pasoknya transparan, hingga mendukung program tanam pohon dari pelaku industri. Semua bisa jadi langkah kecil tapi berarti. Kesadaran kolektif ini yang akan membawa industri kopih ke masa depan yang lebih cerah dan inklusif.

Kita semua punya peran, sekecil apa pun. Entah sebagai pemula yang baru suka cold brew, atau sebagai barista berpengalaman yang ingin terus belajar. Industri kopih adalah ruang besar untuk bertumbuh, berbagi, dan berinovasi. Ayo ikut gelombangnya—bukan untuk ikut-ikutan, tapi untuk menciptakan arus baru yang lebih sadar, lebih hijau, dan lebih membahagiakan.

**

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar
0
Butuh masukanmu, silakan komentar.x
()
x