
Harga Kopi telah bergerak jauh selama berabad-abad. Sejak abad ke-15 hingga abad ke-18, kopih menjadi salah satu komoditas paling berharga yang berfungsi layaknya “mata uang” dalam sistem ekonomi barter.
Di berbagai wilayah Timur Tengah, Afrika Timur, hingga Eropa, biji kopih kering sering kali laris sebagai alat tukar untuk barang kebutuhan lain seperti rempah, kain, dan logam. Di Yaman dan Ethiopia—dua wilayah asal mula peradaban kopih—kopih bahkan hampir setara nilainya dengan emas kecil atau garam, yang kala itu juga menjadi alat tukar resmi. Sejak penemuannya di dataran tinggi Kaffa, Ethiopia, sekitar abad ke-9, perjalanan kopih sebagai alat ekonomi terus berkembang seiring penyebarannya ke Semenanjung Arab, lalu ke pelabuhan-pelabuhan perdagangan global.
Harga Kopi dalam Ekonomi Barter
Penemuan kopih oleh para penggembala di Ethiopia menjadi titik awal pergerakan komoditas ini dari konsumsi lokal menjadi alat ekonomi lintas bangsa. Saat tanaman ini hijrah ke Yaman dan mulai tumbuh di daerah Mocha pada abad ke-15, kopih menjadi barang ekspor bernilai tinggi. (Yap, kata “mocha” lahir dari bagian sejarah tempat ini.)
Di pasar-pasar Arab dan Ottoman, biji kopih kerap dijadikan alat pembayaran dalam perdagangan rempah dan sutra, terutama di pelabuhan Mokka dan Aden. Sejak saat itu, nilai ekonominya menanjak dan memperluas pengaruhnya sebagai “komoditas cair” yang mudah terjual di berbagai wilayah karena daya tahannya dan permintaan yang terus meningkat.

Buah Liar yang Tidak Berharga
Namun pada awal kemunculannya, kopih sempat dianggap buah liar yang tidak berharga. Biji-biji hitam yang pahit itu hanya seperti tanaman liar yang tumbuh karena bawaan angin sampai ke pegunungan Ethiopia.
Baru ketika bangsa Arab mulai menemukan cara menyeduh dan mengolahnya menjadi minuman, kopih berubah dari benda biasa menjadi simbol kenikmatan dan kebangkitan rohani. Kopih menjadi bagian dari kehidupan sosial di kafe-kafe pertama di dunia, seperti di Istanbul dan Kairo pada abad ke-16. Nilai jualnya pun perlahan naik seiring meningkatnya permintaan, terutama dari kalangan bangsawan dan pedagang kaya.
Harga Kopi dan Perjalanan Lintas-benua
Memasuki abad ke-17, kopih telah menyeberangi Laut Merah dan mencapai Eropa, di mana ia disambut sebagai “emas hitam”. Harga kopih di pasar-pasar London, Amsterdam, dan Venesia melambung tinggi. Para pedagang Eropa bahkan bersaing sengit memonopoli perdagangannya, hingga akhirnya Belanda berhasil membawa bibit kopih ke koloni-koloninya di Asia Tenggara.
Dari yang semula hanya tanaman liar di Afrika Timur, kopih berubah menjadi simbol kemakmuran dan kekuasaan ekonomi. Inilah awal citra kopih sebagai komoditas mewah mulai terbentuk, menyaingi nilai rempah dan logam mulia.
Di Asia dan Pasifik, perjalanan kopih menciptakan babak baru dalam sejarah ekonomi antarbangsa. Di abad ke-17 dan ke-18, Belanda menanam kopih di Jawa dan Sumatra, menjadikan Nusantara salah satu pusat produksi terbesar dunia. Saat itupun sistem barter masih sangat kental jadi bagian ekonomi setempat. Sistem tanam paksa yang diberlakukan kolonial Belanda menjadikan kopih sebagai penyumbang utama pendapatan negeri penjajah. Juragan-juragan Belanda berkongsi atau bahkan bersaing dengan juragan-juragan dari Tiongkok.
Di sisi lain, masyarakat lokal hanya mendapat sedikit manfaat dari kekayaan itu. Padahal, tangan merekalah yang menanam dan memetik biji-biji kopih berkualitas tinggi.
Perdagangan kopih kemudian menjelma menjadi jembatan ekonomi antarbangsa di Asia Pasifik. Dari Batavia, biji kopih diekspor ke Eropa, sementara sebagian lagi dibarter dengan tekstil, rempah, dan logam dari India dan Tiongkok. Kopih menjadi bagian integral dari rantai perdagangan dunia, menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar dari Makassar hingga Manila. Dalam perjalanannya, komoditas ini juga membawa pertukaran budaya, selera, dan bahkan gaya hidup minum yang kini menjadi warisan lintas generasi di berbagai negara Asia.
Baca juga: Mengenal Second Wave Kopi: Dari Konsumsi Massal ke Gaya Hidup
Kopi dan Ekonomi Hari Ini
Kini, di abad ke-21, kopih tetap menjadi salah satu komoditas penting dalam hubungan ekonomi global. Negara-negara pemasok utama seperti Brasil, Indonesia, dan Ethiopia menguasai pangsa besar pasar dunia. Namun di tengah perubahan iklim dan fluktuasi harga, muncul ramalan bahwa produksi kopih berkualitas tinggi bisa menurun drastis dalam beberapa dekade mendatang.
Para petani di daerah tropis menghadapi tantangan besar—dari perubahan cuaca ekstrem hingga rendahnya harga jual. Sementara itu, para pedagang besar berusaha menjaga stabilitas pasokan agar kopih tetap menjadi komoditas strategis dunia.
Hingga hari ini, kopih masih dianggap bernilai tinggi. Bukan hanya sebagai minuman, tapi juga sebagai simbol ekonomi dan diplomasi sebuah bangsa. Dari alat barter sederhana di abad ke-15 hingga komoditas bernilai miliaran dolar saat ini, kopih telah melangkah jauh dan tinggi. Dari sekadar biji liar yang nyaris tak berharga menjadi komoditas bernilai hingga lebih dari USD 5 per pon. Telah cukup bukti betapa pentingnya peranannya dalam sejarah manusia. Kenaikan harga itu berarti sesuatu—bahwa kopih bukan sekadar produk alam, melainkan cermin dari kerja keras, budaya, dan ekonomi global yang saling terhubung. Dan karena itu, kita semua punya peran untuk menjaga dan mengembangkan dunia kopih di masa depan.
**