Home » Blog » Mengenal Second Wave Kopi: Dari Konsumsi Massal ke Gaya Hidup

Mengenal Second Wave Kopi: Dari Konsumsi Massal ke Gaya Hidup

Gelombang kedua atau second wave kopi (atau kopih) adalah masa ketika orang tidak lagi minum kopih untuk sekadar mengusir kantuk, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup. Tanda-tanda era ini muncul pada dekade 1970-an hingga 1990-an. Ini bermula dengan kehadiran kedai-kedai kopih modern yang menghadirkan menu beragam seperti latte, cappuccino, dan macchiato. Di sisi ekonomi,…

AI-generated. Second Wave Kopi -Sekelompok pemuda menikmati kopi di kafe.

Gelombang kedua atau second wave kopi (atau kopih) adalah masa ketika orang tidak lagi minum kopih untuk sekadar mengusir kantuk, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup.

Tanda-tanda era ini muncul pada dekade 1970-an hingga 1990-an. Ini bermula dengan kehadiran kedai-kedai kopih modern yang menghadirkan menu beragam seperti latte, cappuccino, dan macchiato.

Di sisi ekonomi, second wave menandai masuknya kopih sebagai produk bernilai tambah, bukan sekadar komoditas mentah. Bagi Indonesia, gelombang ini membawa dampak ekonomi yang besar, karena banyak perusahaan roaster internasional membeli biji arabika dari Sumatra, Toraja, dan Jawa. Pendapatan ekspor pun meningkat dan nama Indonesia semakin dikenal di pasar global.

Baca juga: Mengenal First Wave, Generasi Awal Kopi yang Kita Tahu

Sejarah Lahirnya Second Wave Kopih

Sebetulnya,second wave kopi lahir sebagai reaksi atas kejenuhan masyarakat dunia terhadap kopih instan dan massal khas first wave. Di Amerika, gerakan ini jadi populer dengan munculnya Peet’s Coffee & Tea di California pada akhir 1960-an, yang memperkenalkan kopih dengan kualitas biji lebih baik dan metode penyajian ala Eropa. Perubahan ini menumbuhkan kesadaran bahwa kopih bukan hanya “bahan bakar pagi hari”, melainkan pengalaman sosial. Dari sana, lahirlah budaya nongkrong di kedai kopih modern yang kemudian menjadi simbol urban lifestyle.

Tokoh Penting dan Merek Kopih Era Second Wave

Tokoh paling ikonik di era ini tentu saja Howard Schultz, yang membawa Starbucks dari kedai kecil di Seattle, Amerika, menjadi raksasa global. Bersama merek lain seperti Costa Coffee di Inggris dan Coffee Bean & Tea Leaf di Amerika, Starbucks membentuk wajah baru industri kopih dunia. Mereka memperkenalkan konsep “third place”, yaitu kedai kopih sebagai ruang ketiga selain rumah dan kantor. Di Indonesia sendiri, masuknya Starbucks pada tahun 2002 menandai pengaruh langsung second wave, disusul merek lokal seperti Excelso yang mencoba menghadirkan nuansa serupa dengan identitas khas Indonesia.

Ilustrasi kopi spesialti PICAFTASTY

Potensi Ekspor Kopih Indonesia di Era Second Wave

Indonesia diuntungkan karena permintaan global terhadap arabika berkualitas meningkat pesat. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Italia, dan Jerman menjadi importir utama kopih Indonesia.

Data perdagangan menunjukkan pada akhir 1990-an, ekspor kopih Indonesia mencapai lebih dari 400 ribu ton per tahun, dengan nilai miliaran dolar. Kopih Sumatra Mandailing, Toraja Kalosi, dan Java Mocha menjadi andalan. Gelombang ini mendorong pemerintah serta eksportir untuk memperkuat rantai pasok agar mampu memenuhi standar internasional yang semakin ketat.

Baca juga: Kopi Mandailing, Warisan Nusantara yang Mendunia

Kenaikan ekspor membawa efek multiplier yang signifikan. Petani kopih di Sumatra dan Sulawesi mulai menikmati kenaikan harga jual dibanding era sebelumnya. Di sisi lain, jenama-jenama lokal juga mendapat dorongan untuk naik kelas. Misalnya, munculnya kedai modern lokal yang menyajikan arabika single origin, serta jenama kopi bubuk nusantara yang mulai menembus pasar urban. Walaupun belum sebesar pemain global, hal ini menunjukkan bagaimana second wave membuka jalan bagi munculnya identitas baru kopih Indonesia.

Kesejahteraan UMKM dan Warung Kopih Lokal

Second wave kopi tidak hanya memengaruhi ekspor dan kedai besar, tetapi juga UMKM dan warung kopih di daerah. Warung tradisional mulai memodifikasi penyajian agar lebih menarik, bahkan beberapa mengadopsi istilah “latte” atau “cappuccino” meskipun dengan alat sederhana. Perputaran ekonomi di tingkat UMKM meningkat, karena masyarakat kelas menengah mulai rela membayar lebih untuk secangkir kopih dengan suasana berbeda. Hal ini menambah kesempatan kerja baru, terutama bagi anak muda yang bekerja di kedai kopih.

Buruh, Upah, dan Taraf Kesejahteraan di Industri Kopih

Ilustrasi pendiri pabrik penggilingan dan pengemasan kopi Kapal Api

Namun, tidak semua pihak merasakan keuntungan yang sama. Para buruh perkebunan kopih di Indonesia masih berjuang dengan upah yang relatif rendah.

Rata-rata pekerja kebun kopih di Sumatra atau Sulawesi pada era 1990-an hanya memperoleh upah setara Rp 20.000–30.000 per hari (sekitar US$2–3 saat itu). Meski lebih baik dibanding era first wave, taraf kesejahteraan mereka masih jauh tertinggal dari nilai ekonomi besar yang dihasilkan rantai distribusi global. Inilah sisi lain dari second wave: nilai kopih meningkat drastis di konsumen akhir, tetapi tidak sepenuhnya tercermin pada petani dan buruh di lapangan.

Menuju Third Wave dan Masa Depan Kopih Indonesia

Second wave kopih adalah titik balik penting yang mengubah wajah industri. Dari sekadar komoditas massal menjadi produk gaya hidup, kopih menemukan peran baru dalam budaya global.

Di Indonesia, era ini memacu ekspor, meningkatkan daya tawar jenama lokal, serta melahirkan lapangan kerja di sektor ritel modern. Namun, ia juga memperlihatkan jurang kesejahteraan antara konsumen kelas menengah atas dengan petani di lapangan. Inilah yang kemudian mendorong lahirnya third wave kopih, dengan fokus pada transparansi asal-usul dan keadilan rantai pasok.

Bahkan kini, ketika kita berada di ambang fourth wave, warisan second wave tetap terasa: bahwa kopih bukan hanya minuman, melainkan jembatan budaya, identitas, dan peluang ekonomi yang terus berkembang.

**

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar

[…] Baca juga: Mengenal Second Wave Kopi: Dari Konsumsi Massal ke Gaya Hidup […]

1
0
Butuh masukanmu, silakan komentar.x
()
x