Home » Blog » Sudahkah Produksi Kopih Luwak di Indonesia Berkelanjutan?

Sudahkah Produksi Kopih Luwak di Indonesia Berkelanjutan?

Di tengah naiknya nilai ekonomi, muncul pula pertanyaan penting: apakah produksi kopih luwak di Indonesia sudah berjalan secara berkelanjutan dan menghargai hak-hak hewan, khususnya luwak sebagai satwa?

Produksi Kopi Luwak banyak dikritik karena isu perlindungan satwa, keseimbangan alam, dan keserakahan ekonomi - TokoKopih.com

Kopih luwak Indonesia sudah lama jadi produk unggulan yang dikenal sampai ke penjuru dunia. Dengan harga yang bisa sampai jutaan rupiah per kilogram, kopih ini bukan cuma sekadar minuman—tapi simbol eksklusivitas dan kebanggaan. Produksinya terus meningkat seiring naiknya permintaan global, terutama dari pasar Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. Namun, di tengah naiknya nilai ekonomi, muncul pula pertanyaan penting: apakah produksi kopi luwak di Indonesia sudah berjalan secara berkelanjutan dan menghargai hak-hak hewan, khususnya luwak sebagai satwa?

Sedikit menengok ke belakang, kopih luwak awalnya ditemukan secara tidak sengaja oleh petani Indonesia di zaman kolonial Belanda. Karena mereka tak boleh mengambil buah kopih dari kebun kolonial, mereka mengumpulkan biji kopih dari kotoran luwak liar yang memakan buah kopih terbaik. Rasa kopih hasil fermentasi alami di perut luwak itu ternyata sangat berbeda—lebih halus, lebih kompleks, dan unik. Seiring waktu, terutama di era 2000-an, produk ini makin populer dan mulai menyebar ke berbagai daerah seperti Sumatra, Jawa, dan Bali.

Permintaan Kopi Luwak

Sayangnya, meningkatnya permintaan membuat banyak produsen mulai menggunakan cara yang tidak ramah hewan. Luwak yang seharusnya hidup bebas di alam kini banyak yang tertangkap dan jadi korban budidaya di kandang sempit, diberi makan buah kopih secara paksa setiap hari.

Praktik seperti ini tidak hanya membuat luwak stres, tapi juga bisa memengaruhi kualitas kopih itu sendiri. Organisasi seperti People for Ethical Treatment of Animals (PETA) dan berbagai pengamat keberlanjutan menyoroti kondisi ini, dan bahkan beberapa restoran serta toko spesialti di Eropa dan Australia secara total memboikot kopih luwak dari peternakan tertutup.

peternakan-musang-dok-people-for-the-ethical-treatment-of-animals-peta-11
Kondisi Luwak yang dikurung untuk produksi Kopi Luwak (Dok. PETA/CNBC)

Kopi Luwak Berkelanjutan

Di sisi lain, masih banyak juga produsen yang tetap menjaga prinsip berkelanjutan. Kopih luwak yang asalnya dari luwak liar di hutan atau kebun terbuka, misalnya, kini mulai diberi label “wild civet coffee” dan mendapatkan sertifikasi etis. Pasar internasional pun mulai lebih selektif. Mereka ingin menikmati kopih luwak, tapi juga ingin tahu dari mana asalnya dan bagaimana proses produksinya. Konsumen sekarang tidak hanya membeli rasa, tapi juga membeli cerita dan nilai moral dari secangkir kopih yang mereka minum.

Menanggapi isu ini, pemerintah Indonesia dan beberapa pelaku industri swasta sudah mulai bergerak. Beberapa asosiasi produsen kopih, khususnya yang berbasis di Sumatra dan Jawa Tengah, kini mulai menerapkan standar kesejahteraan hewan dan sistem budidaya semi-liar. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga mendorong sertifikasi IG (Indikasi Geografis) dan memperkenalkan prinsip keberlanjutan dalam ekspor. Seperti yang pernah dikatakan Duta Besar RI untuk Jepang, Heri Akhmadi, “Kopih luwak bukan sekadar produk, tapi simbol budaya yang harus kita jaga kelestariannya—termasuk cara produksinya.”

Baca juga: Kopih Luwak: Kopi Termahal di Dunia

Respon Industri Kopi

Industri juga mulai terbuka dengan kritik. Brand-brand lokal seperti Arutala, Gayo Mandiri, dan beberapa koperasi petani mulai mempromosikan kopih luwak etis yang benar-benar hasil alamiah dari alam. Mereka tidak hanya fokus pada hasil akhir, tapi juga mendokumentasikan proses panen dan kesejahteraan luwaknya. Bahkan beberapa kedai mulai mengedukasi konsumennya agar paham perbedaan antara kopih luwak kandang dan kopih luwak liar. Ini penting, karena membangun kesadaran pasar adalah langkah awal dari perubahan besar.

Biji Kopi hasil fermentasi lambung Luwak menjadi Kopi Luwak

Namun tetap saja, ada paradoks yang belum terpecahkan. Di satu sisi, kopih luwak jadi komoditas bernilai tinggi yang meningkatkan citra Indonesia di mata dunia. Di sisi lain, citra tersebut bisa runtuh kalau praktik produksinya tidak memperhatikan etika dan lingkungan. Inilah tantangan terbesar saat ini: bagaimana menjaga nilai ekonomi tanpa mengorbankan nilai keberlanjutan.

Kita tidak bisa hanya mengejar untung jangka pendek dan lupa bahwa konsumen zaman sekarang semakin cerdas dan peduli terhadap proses.

Karena Kopi Lebih dari Sekadar Rasa

Kesimpulannya, produksi kopih luwak di Indonesia saat ini memang sedang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, potensi ekonominya besar. Tapi di sisi lain, keberlanjutannya masih jadi pekerjaan rumah. Kalau kita ingin kopih luwak tetap harum di pasar dunia, maka kita semua—baik produsen, konsumen, hingga pemerintah—harus mendukung sistem produksi yang ramah lingkungan, menghormati satwa, dan berorientasi jangka panjang. Karena secangkir kopih yang baik bukan cuma soal rasa, tapi juga soal tanggung jawab.

**

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar

[…] Baca juga: Kopi Luwak Sumatra, Kontroversi dan Janji Produksi Berkelanjutan […]

1
0
Butuh masukanmu, silakan komentar.x
()
x